
Oleh Hasantoha Adnan, E. Linda Yuliani, Valentinus Heri, Veronika Heni, Moira Moeliono
Pagi itu, suasana di rumah panjang khas Suku Dayak Iban di Kampung Kedungkang tampak semarak. Sebanyak 29 perempuan sibuk memasang alat tenun mereka, diselingi canda dan tawa riang. Mereka sedang bersiap mengikuti pelatihan menenun tradisional bertajuk “Mengukir Keunggulan dalam Serat Tradisi” yang diselenggarakan oleh Yayasan Riak Bumi (YRB) dan Center for International Forestry Research (CIFOR)—dengan dukungan utama dari Darwin Initiative (Pemerintah Inggris) dan kontribusi dari The International Climate Initiative/IKI (Pemerintah Jerman).
Pelatihan yang berlangsung pada 16-19 Januari 2024 ini ditujukan bagi para perempuan Dayak Iban di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, yang telah turut menjaga kelestarian ekosistem hutan dengan norma tradisional dan aturan adat. Tujuan pelatihan ini untuk memperkuat tradisi tenun ikat Dayak Iban agar mampu meningkatkan penghidupan mereka yang berakar pada warisan budaya dan sumber daya lokal.
“Dahulu, para perempuan berkumpul di teras rumah panjang membawa benang-benang yang dipintal dari kapas yang mereka tanam di kebun sekitar, lalu menyalakan tungku dan mencampurnya dengan sumber-sumber pewarna alami, entah itu daun, kulit pohon, akar, atau biji. Benang lalu dicelup dan dijemur hingga menghadirkan warna-warni yang diinginkan. Sesudah itu, menyiapkan alat tenun sederhana. Dari situlah proses menenun pun dimulai,” tutur Margareta Bermas alias Aya, perempuan dari Dusun Kelayam yang menjadi pelatih utama kegiatan ini.


Aya merupakan anggota Perkumpulan Warna Alam Indonesia (Warlami) dan Rumah Rakuji. Ia dikenal di Kapuas Hulu sebagai penenun tradisional yang piawai membuat pewarna alami. Lulusan Politeknik Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil (STTT) Bandung ini juga menjadi penyuluh di Dinas Perindustrian Kabupaten Kapuas Hulu. Pada 2023, Aya menerima penghargaan dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat atas kontribusinya terhadap kelestarian lingkungan.
Ada empat teknik dasar menenun tradisional masyarakat Iban: ikat (kebat), sidan, pileh, dan sungkit (songket). Masing-masing teknik ini memiliki karakteristik dan tingkat kerumitan tersendiri. Tenun pileh, misalnya, dikenal paling rumit dan kini hanya sedikit yang mampu melakukannya. Aya—salah satu dari sedikit penenun pileh yang tersisa—membagikan pengetahuan ini kepada para peserta dengan penuh antusiasme.
Memintal Tradisi dalam Benang dan Warna
Tradisi menenun kain adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari warga Dayak Iban di Kapuas Hulu. Setiap helai benang yang ditenun dan motif yang dibentuk memuat sejarah, kepercayaan, serta nilai-nilai kehidupan. Menenun bukan sekadar ketrampilan, melainkan cerminan warisan budaya yang diturunkan dari generasi ke generasi. Kontribusinya terhadap perekonomian lokal pun tidak bisa dipandang sebelah mata. Selain menciptakan lapangan kerja, kerajinan tenun berperan penting dalam menjaga kearifan lokal dan melestarikan kearifan warisan budaya.
Meski menenun sering dianggap hanya kegiatan perempuan, sebenarnya laki-laki memiliki peran pendukung penting, yaitu membuat peralatan menenun dari kayu: tangga ubung, peling gasing (alat untuk menggulung benang atau nabok ubung dalam Bahasa Iban), rakup (untuk menahan benang di bagian atas), tendai (untuk menahan benang di bagian bawah), beliak (alat pengetuk/pisau kayu untuk merapatkan benang pakan), lidi karap dan ripang (untuk membawa benang pakan). Pada alat rakup diukir motif burung kenyalang, dan biasanya hanya laki-laki yang sudah berumur yang dapat melakukannya karena harus didahului oleh ritual adat. Laki-laki juga membantu mengambil bahan-bahan pewarna alam yang berasal dari/tumbuh di pohon-pohon tinggi, dan menggulung benang.

Setelah semua peralatan tersebut siap, perempuan dan laki-laki bersama-sama meletakkan peralatan di tempat yang paling nyaman untuk menenun. Perempuan umumnya menenun setelah aktivitas bercocok tanam . Sepulang dari ladang atau kebun, mereka menghabiskan 1–2 jam duduk di tangga ubung—kerangka kayu untuk alat tenun–menyusun benang beragam warna hingga membentuk motif-motif indah penuh makna.
Tradisi tenun ini berakar dari perkembangan budaya menghias yang diperkirakan telah ada sejak zaman Neolitikum. Saat itu, praktik menghias tubuh, peralatan, dan benda upacara berpengaruh besar terhadap pembentukan kebudayaan visual dan estetika masyarakat Nusantara. Perkembangan tersebut kemudian diperkaya oleh pengaruh kebudayaan Dongson yang dibawa bangsa Mongoloid Deutero atau rumpun Austroasiatik dari wilayah Tonkin (Indocina) dan Annam Utara sekitar tahun 700 SM.
Kebudayaan Dongson memperkenalkan tradisi logam (perunggu) sekaligus memengaruhi perkembangan teknologi tekstil di Asia Tenggara. Pada masa itu, alat tenun gedogan mulai dikenal dan berfungsi secara berkesinambungan dalam kehidupan masyarakat. Bersamaan dengan itu, teknik ikat lungsi (warp weaving) juga hadir dan berkembang, dan selanjutnya menjadi ciri khas menenun di banyak komunitas, termasuk Dayak Iban di Kalimantan. Dengan masuknya pengaruh tersebut, menenun tidak lagi sekadar keterampilan praktis untuk memenuhi kebutuhan sandang, tetapi juga bertransformasi menjadi media ekspresi simbolik dan identitas budaya.
Bagi masyarakat Dayak Iban, kain tenun pua’ kumbu’ menjadi medium sakral yang memuat simbol kosmologis, mitologis, dan sosial, sekaligus meneguhkan fungsi tenun sebagai warisan teknologi yang menyatu dengan struktur kebudayaan.
Tenun dan Makna Filosofisnya
Bagi masyarakat Iban, kain tenun memiliki makna lebih dari sekadar fungsi praktis. Kain tersebut memegang peranan penting dalam kehidupan sosial dan budaya. Keberadaannya sering kali menandai kedudukan seseorang, perempuan, atau keluarga di komunitas. Kehadiran kain tenun dalam kehidupan masyarakat Iban dapat dibedakan ke dalam tiga ranah yaitu: (1) momen peralihan tahapan kehidupan manusia—sejak dari kelahiran, pernikahan hingga kematian; (2) pesta adat besar atau gawai-gawai; dan (3) penegasan identitas kekerabatan.
Motif tenun pun tidak dibuat sembarangan; setiap pola sarat makna filosofis. Ida, seorang peserta, menjelaskan makna motif yang ia kerjakan: “Ini motif tangga aek, sungai yang bertangga-tangga. Artinya, kalau mau hidup kita berhasil, kita harus bekerja keras seperti menaiki batu-batuan di sungai menuju hulu.”
Motif-motif tenun Dayak Iban memuat makna filosofis yang mendalam dan sarat pesan mengenai kehidupan: burung enggang dianggap sebagai penjaga yang melindungi dan membawa keberuntungan, matahari melambangkan kehidupan dan kehangatan, sedangkan rumah panjang mencerminkan hubungan erat antara anggota masyarakat dalam desa. Kisah dan makna motif ini menarik minat tidak hanya para pencinta tenun, tetapi juga masyarakat umum dan bahkan kolektor dari mancanegara.

Pelatihan Menenun: Berakar dari Kearifan Lokal
Pelatihan ini merupakan tindak lanjut dari hasil studi dasar (baseline) yang dilakukan oleh YRB dan CIFOR mengenai potensi dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang berakar pada tradisi, budaya dan sumber daya lokal. Kajian tersebut mengungkap tingginya potensi kerajinan tenun – khususnya tenun sidan, sungkit, dan pileh – sebagai sumber pendapatan alternatif bagi masyarakat setempat, khususnya perempuan. Meningkatnya minat kolektor dan masyarakat umum terhadap tenun tradisional, terutama yang menggunakan pewarna alami, membuat nilai ekonominya semakin menjanjikan.
Meski menenun adalah tradisi Dayak Iban, studi dasar di pertengahan 2022 tersebut menunjukkan bahwa ketrampilan menenun kini lebih banyak dimiliki oleh perempuan berusia lanjut. Para perempuan muda Dayak Iban yang seharusnya mewarisi keterampilan ini kurang tertarik mempelajarinya, karena menenun dianggap rumit dan memerlukan kesabaran dan kurang didukung pemasaran. Padahal dahulu perempuan diajari menenun sejak kecil. Kehadiran pendidikan formal memberi mereka pilihan aktivitas lain di luar rumah, sementara pakaian industri yang murah dan mudah diperoleh mengurangi kebutuhan menenun untuk sandang. Mereka juga merasa percuma menenun, karena saat itu sulit dijual. “Kami ingin dapat pelatihan menenun sidan dan sungkit, tapi tolong dibantu juga pemasarannya,” kata mereka.
Selain kurang memiliki keterampilan dalam teknik menenun, pewarnaan alami, dan pemasaran, para perempuan itu juga menghadapi kendala sulitnya memperoleh benang berkualitas serta minimnya pemahaman tentang filosofi motif tenun. Hal ini mengancam kelangsungan tradisi menenun, yang bukan hanya sekadar kehilangan aktivitas ekonomi, tetapi juga erosi ritual budaya yang menghubungkan masyarakat Dayak Iban dengan leluhur dan alam.
Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut, YRB bersama CIFOR menyelenggarakan pelatihan dan pendampingan lanjutan sebagai dukungan nyata: mengatasi kendala teknis dan pemasaran, memperkuat pengetahuan tentang pewarna alami dan makna motif, serta membantu perempuan memperoleh sumber pendapatan alternatif yang bernilai dan memiliki pasar yang berkelanjutan.
Proses Pelatihan dan Pendampingan
Untuk mendukung para perempuan mendapatkan sumber pendapatan alternatif dan mengembalikan tradisi menenun di kalangan generasi muda, YRB bersama CIFOR menyelenggarakan pelatihan pembuatan pewarna alami, berbagai teknik menenun tradisional, arti beragam motif, pengendalian mutu, penentuan harga dan pemasaran. Pelatihan dikuti dengan pendampingan dan dukungan lebih lanjut untuk menghubungkan para penenun dengan pasar yang berkelanjutan.
Aya memperkenalkan kepada para peserta proses menenun secara menyeluruhu, mulai dari pemintalan benang, persiapan pewarnaan alami, teknik dasar penenunan, dilanjutkan dengan materi mengenai filosofi motif dan inovasi desain, serta strategi pemasaran. Ia bercerita bahwa sejak kecil anak-anak Iban sebenarnya sudah diperkenalkan dengan tenun dan alat-alatnya—bahkan anak usia lima tahun mulai belajar mengenal proses tersebut.
Ia juga menekankan pentingnya ritual adat sebelum memulai proses tenun sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur. Ia mengingatkan, ”Dalam tradisi Dayak Iban, sebelum proses penenunan, kita membuat sesaji untuk meminta izin kepada roh leluhur, agar motif yang dibuat tidak menimbulkan marabahaya.”
Para peserta tampak antusias selama pelatihan berlangsung. Bahkan saat melakukan praktik menenun, mereka berlatih hingga larut malam dan keesokan harinya sudah kembali bersiap kendati waktu masih menunjukkan pukul 05.00 pagi. Antusiasme ini diiringi keinginan kuat agar bisa tenun mereka bisa rampung dibuat dan produk mereka siap untuk diikutkan dalam pameran-pameran.
Melalui pelatihan ini, para penenun diharapkan dapat meningkatkan keterampilan mereka dan menemukan solusi atas berbagai kendala-kendala tersebut. Pelatihan ini tidak hanya memberikan pengetahuan teknis tentang teknik menenun, tetapi juga mengajarkan cara-cara untuk mengatasi keterbatasan bahan dasar dan memperkenalkan kembali motif-motif tradisional serta teknik pewarnaan alami yang hampir terlupakan.
Para penenun juga diajak untuk menggali kembali sumber daya alam yang ada di sekitar mereka dan memanfaatkannya dengan cara yang lebih efisien dan berkelanjutan. Mengingat sebagian besar sumber pewarna alami dan bahan untuk membuat alat tenun berasal dari hutan, pelatihan ini memperkuat kembali relasi antara budaya dan alam yang sempat memudar, seraya memperkuat motivasi dan kapasitas mereka untuk terus menjaga dan melestarikan hutan.
Dalam pelatihan ini, para penenun juga diajarkan untuk berinovasi dalam menciptakan motif-motif baru yang tetap sesuai dengan tradisi, tetapi juga relevan dengan selera pasar modern. Dengan pengetahuan ini, mereka dapat meningkatkan nilai ekonomis dari tenun Dayak Iban, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri dan komunitas sekitar.


Sebagai bagian dari upaya memperluas jaringan pasar, YRB dan CIFOR juga memfasilitasi partisipasi para penenun dalam Pameran International Handicraft Trade Fair (INACRAFT) di Jakarta sebanyak tiga kali, yaitu pada Maret dan Oktober 2024, dan Februari 2025. Kesempatan ini bagi mereka bukan hanya untuk memamerkan karya, melainkan juga untuk belajar berinteraksi dengan pengunjung dan penenun dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka juga mendapatkan perspektif baru dengan membandingkan produk mereka dengan produk tenun dari daerah lain. Pengalaman ini sangat penting karena memberi mereka wawasan tentang standar kualitas, preferensi pasar, dan strategi penetapan harga yang lebih kompetitif.
Partisipasi mereka dalam pameran ini juga diharapkan bisa membuka jaringan pasar baru dan memberi pengakuan lebih luas terhadap nilai artistik dan budaya tenun Dayak Iban. Lebih dari sekadar produk kerajinan, tenun menjadi simbol perjuangan untuk melestarikan warisan budaya di tengah arus modernisasi dan globalisasi.


Tantangan dan Masa Depan Tenun Dayak Iban
Meski tradisi tenun ini memiliki nilai budaya dan ekonomis yang tinggi, perjalanan para penenun dalam menjaga dan mengembangkan tenun tidaklah mudah. Mereka menghadapi beragam tantangan yang menuntut kreativitas, inovasi, dan dukungan untuk memastikan keberlanjutan dan masa depan yang cerah.
Salah satu tantangan utama adalah keterbatasan bahan dasar. Benang yang memenuhi standar kualitas dan selera pasar hanya tersedia di beberapa kota, sehingga harga dan biaya pengirimannya relatif tinggi. Ketersediaan bahan pewarna alami juga menurun—sejumlah tumbuhan pewarna mati setelah beberapa kali terkena banjir pada 2022-2024. Para penenun telah berupaya menanam kembali beberapa jenis bibit, tetapi sebagian gagal tumbuh karena mutu bibitnya kurang bagus. Selain itu, pengetahuan mengenai motif tradisional dan teknik pewarnaan alami—yang seharusnya diwariskan antargenerasi—mulai tergerus oleh waktu dan perubahan sosial. Meski demikian, semangat dan keinginan mereka untuk terus mengembangkan keterampilan, memajukan industri tenun, dan mencari alternatif ekonomi yang berkelanjutan tetap kuat.
Tradisi Sebagai Sumber Kebanggaan dan Kekuatan Ekonomi
Tenun bagi warga Dayak Iban bukanlah sekadar kain sandang. Ia adalah identitas, estetika, dan pengetahuan leluhur. Saat fungsi praktis dari kain tenun menurun, nilai simbolik dan budayanya justru menjadi alasan kuat untuk terus melestarikannya.
Jika ditopang oleh sistem rantai nilai yang mendukung—pelatihan teknis, akses pasar, dan pengakuan budaya—tenun Dayak Iban dapat menjadi sumber penghidupan sekaligus daya tarik bagi generasi muda. Dengan dukungan pemasaran dan pendampingan, minat remaja perempuan pada tradisi tenun ini akan tumbuh, bukan karena kebutuhan sandang, melainkan karena peluang ekonomi dan kebanggaan mempertahankan warisan budaya mereka.
Pelatihan dan pendampingan ini sesungguhnya lebih dari sekadar soal menenun. Ia menunjukkan bagaimana masyarakat adat dapat memanfaatkan kekayaan budaya untuk menciptakan peluang ekonomi baru tanpa mengorbankan identitas dan tradisi mereka. Para perempuan Dayak Iban di Kapuas Hulu kini memiliki ruang untuk membuktikan bahwa di tengah arus modernisasi dan globalisasi, nilai-nilai tradisional mereka tetap relevan dan kuat.

Dengan dukungan yang tepat, tenun Dayak Iban bisa menjadi simbol kebanggaan budaya sekaligus sumber kekuatan ekonomi bagi masyarakat lokal. Setiap helai kain yang dihasilkan tak hanya bernilai komersial, tetapi juga membawa cerita, warisan, dan identitas—aset budaya yang mereka rawat dengan penuh cinta. Tradisi ini bukan hanya warisan milik masa lalu, tetapi juga modal berharga bagi masa depan yang berkelanjutan. Dan pada akhirnya, di tangan perempuan adat, tenun ikat tidak hanya menjadi sumber pendapatan, tetapi juga jembatan yang menghubungkan masa lalu dengan masa depan, tradisi dengan inovasi, dan budaya lokal dengan pasar global.



